Kerajaan Tappalang; Genealogi dan Masa Depannya

Tulisan ini merupakan makalah yang disampaikan oleh Murtaza A. Syafinduddin Hammada di seminar Kerajaan Tapalang di Kec. Tapalang Kab. Mamuju Provinsi Sulawesi Barat (Catatan: pemiliki website sudah meminta izin kepada beliau untuk memposting tulisan ini).

KERAJAAN TAPPALANG; GENEALOGI DAN MASA DEPANNYA
(Sebuah Pengantar)

Oleh: Mortaza A. Syafinuddin Hammada
(Dosen Universitas Paramadina, Jakarta, dan Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Syarikat Islam
 Periode 2015-2020)

Tapalang adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Sebelum era kemerdekaan Indonesia wilayah ini masuk di dalam konfederasi kerajaan-kerajaan di pesisir Mandaryang lazim dikenal dengan sebutan Pitu Ba’bana Binanga hasil Perjanjian Tammajarra. Pada pemerintahan kolonial Hindia Belanda Wilayah Tappalang masuk ke dalam bagian Onder Afdeling Mamuju yang merupakan bagian dari Afdeling Mandar. Selanjutnya dalam struktur pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 bekas Afdeling Mandar dibagi manjadi tiga kabupaten, yakni; Polewali Mamasa (gabungan bekas Onder Afdeling Polewali dan Onder Afdeling Mamasa), Majene, dan Mamuju. Wilayah Tapalang bergabung ke Kabupaten Mamuju yang hingga sekarang telah menjadi dua kecamatan; Tapalang dan Tapalang Barat. Wilayah Kecamatan Tapalang sebelum pemekaran terbentang dari Desa Lebani di ujung utara ke Desa Taan di ujung selatan dan Selat Makassar di barat ke Desa Bela di ujung Timur.

Tapalang dalam tutur asli Bahasa Tapalang disebut Tampalang. Nomenklatur antropologisnya adalah To Tampalang (orang Tapalang), berarti ada suatu satuan budaya yang berkembang berdasarkan nilai-nilai yang relatif sama atau secara substatif sama. Sedangkan dalam dalam konteks konfederasi kerajaan-kerajaan di Mandar, disebut Tappalang, yakni bahwa Kerajaan Tappalang merupakan satu dari tujuh persekutuan kerajaan pesisir Mandar (Pitu Ba’bana Binanga). Oleh sebab itu, tatkala membicarakan Tapalang dalam konteks kerajaan, maka dalam makalah ini ditulis Kerajaan Tappalang. Dengan demikian, urutannya adalah Tampalang sebagai sebuah wilayah tempat berdirinya satuan-satuan adat otonom yang dipimpin seorang maradika, lalu mulai popular sebagai Tappalang usai Perjanjian Tammajarra I, kemudian menjadi Kerajaan Tappalang yang dipimpin oleh seorang mara’dia sebagai sebutan resmi di Pitu Ba’bana Binanga –meski kadang juga penduduka asli menyebutnya maradika- dan yang terakhir menjadi Tapalang setelah Onder Afdeling Mamuju berubah menjadi Kabupaten Mamuju yang di dalamnya terdapat Kecamatan Tapalang. Makalah ini akan mencoba memberi pengantar tentang hakikat Tappalang sebagai suatu entitas pemerintahan adat hingga berkuasanya mara’dia menggantikan para maradika di dalam satuan-satuan adat yang pernah ada.

Kerajaan Tappalang dipimpin oleh Mara’dia. Sebutan ini sebenarnya tidak masuk dalam bagian sebutan asli To Tampalang, sebab di tanah Tampalang sebelum menjadi Tappalang berdasarkan penyebutan di Perjanjian Tamajarra I, pimpinan satuan adat (hadat) dinamakan Maradika.Mara’dia lebih dekat dengan sebutan penutur Bahasa Mandar yang mendiami Kerajaan Sendana, Banggae, Balanipa, Pamboang, dan sebagian Binuang.Demikian juga, penamaan Tappalang menurut hemat penulis mulai populer sesudah Perjanjian Tammajarra’ I karena mengikuti tutur Sendana, asal muasal Raja Tappalang Pertama. Lebih lanjut akan dikemukakan pada bagian lain.

Mara’dia memerintah di Tappalang dengan menyatukan bekas-bekas kekuasaan kerajaan kecil yang ditinggalkan leluhur mereka.Berdasarkan batas-batas kekuasaan kerajaannya di wilayah ini juga dikenal adanya satuan-satuan adat mandiri dalam beberapa sebutan yang merepresentasikan dan menyimbolkan alur historis tersendiri, yakni; wilayah para punggaha masing-masing, Tampalang, Orobatu, Dayangnginna, Pasa’bu, dan Dungkait; serta wilayah-wilayah Mata Lalang di Karanamu, Tomakaka di Taan. Adapun Bela, tidak termasuk di dalam persekutuan Pitu Ba’bana Binanga. Satuan-satuan adat tersebut tidak akan diuraikan di dalam makalah ini karena memerlukan pembahasan terpisah dan penelusuran sumber-sumber yang relevan.

Sumber-sumber yang berbicara tentang persekutuan kerajaan-kerajaan mandiri di wilayah Mandar hanya menyebutkan bahwa Kerajaan Tappalang adalah salah satu dari bagian Pitu Ba’bana Binanga.[1]Tidak ada keterangan lain mengenai kedudukan Kerajaan tapalang selain itu. Banyak kesulitan yang ditemui tatkala hendak menuliskan genealogi Kerajaan Tappalang lantaran sumber tertulis mengenai kerajaan ini khususnya dan kerajaan-kerajaan di Mandar belum terkumpul secara komprehensif. Ini artinya, masih ada sebuah tugas budaya yang amat berat yakni menuliskan secara sistematis dan ilmiah kerajaan Mandar secara umum mencakup kerajaan dalam gabungan konfederasinya, termasuk Kerajaan Tappalang.

Genealogi Kerajaan Tappalang
Semua sumber sepakat membenarkan bahwasanya nenek moyang orang Tappalang adalah Tambuli Bassi.Beliaulah tokoh terpenting yang menurunkan seluruh silsilah dalam wilayah Kerajaan Tappalang.Sosok inilah yang berada di balik segala kejayaan masa lalu Kerajaan Tappalang.Secara sekilas disebutkan bahwa Tambuli Bassi bertolak dari negeri asalnya yakni Tabulahan menuju ke arah barat, menuruni pegunungan yang kini dikenal dengan Kabupaten Mamasa menuju wilayah pesisir.Menempuh perjalanan beberapa bulan Tambuli Bassi tiba di muara sungai lalu menancapkan bambu kuning (parring bulahang).Wilayah pesisir di muara Sungai Tamao itulah yang oleh beliau disebut sebagai “ujung perjalanan”. Diksi dalam dialek aslinya dinamakan tappa’ lalang atau tampa lalang. Tappa’ atau tampa’ berarti “ujung” dan lalang berarti jalanan atau perjalanan.Gabungan dua kata itu membentuk satu kata baru; Tappalang atau Tampalang.

Tambuli Bassi sendiri bukanlah nama aslinya. Tidak ada satu pun sumber yang dapat menyampaikan nama asli nenek moyang orang Tappalang ini. Nama itu melekat sebagai julukannya. Secara antropologis, manusia Mandar awal pada umumnya enggan menyebut nama seseorang setelah beranjak dewasa, terutama sekali mereka yang ditokohkan di dalam masyarakat. Mereka biasa dipanggil sesuai kebiasaan khas mereka.Tambuli Bassi dalam setiap perjalanannya ditemani tongkat berujung atau tombak logam atau besi yang selalu ditancapkan pada setiap langkahnya menyusuri rantai pegunungan yang tak putus hingga ke kawasan pesisir.

Tambuli Bassi berangkat dari Tabulahan bersama dengan seorang istri yang tak disebutkan namanya dan seorang anaknya bernama Toahi’. Semenjak beliau menancapkan Parring Bulahang yang dibawanya dari Tabulahang dengan sebuah pernyataan “Diami tinde’e tampa’-tampa’ lalanta’” beliau merambah tanah di antara tiga bantaran sungai; Tamao, Taosa, dan Anusu. Selama berada di tanah ini Tambuli Bassi memiliki enam orang anak.Mereka adalah Torijannangan, Tabunga-bunganna, Daeng Mattarring, Todibaruganna, Taseopanna, dan Tappalla'na.Daeng Mattarring adalah satu-satunya anak laki-laki Nenek Tambuli Bassi tersebut.

Adapun Toahi’ yang bermigrasi bersama Tambuli Bassi ke wilayah pesisir adalah anak dari istri pertama beliau.Istri pertama beliau tersebut yang juga tidak diketahui namanya, berdiam di Buntu Bulo, Tabulahang. Selain Toahi’, dari istri pertamanya tersebut beliau juga memiliki anak bernama Topelake-lakena dan Todikurra-kurra. Todikurra-kurra ikut mengikuti suaminya migrasi ke Bali, sedangkan Tapelake-lakena berpindah ke pesisir selatan, diperkirakan di wilayah Pamboang.

Semula keturunan beliau yang berdiam di Tappalang melahirkan generasi pertama yang menjadi penutur budaya dan selanjutnya memimpin satuan-satuan adat otonom sebagai maradika, punggaha, pa’bicara, dan baligau’.Torijannangan tinggal di Tamasaro’bo’.Tabunga-bunganna diperistri oleh Seri Bone dan berdiam di Lamungan Boa, Kalukaluku, kemudian pindah ke Taloba’, kawasan Salumatti.Daeng Mattarring mendiami pesisir Tappalang, yakni Udung Batu sedangkan Toribunganna tinggal di Galung Luak, Tasiopanna di Pasa’bu, dan Tappala’na ke Dungkait karena diperistri putra Takala’birang yang kelak menjadi Maradika Kajuranni di Pasa’bu, sebuah kerajaan kecil di wilayah Sungai Ahu.

Perjalanan yang demikian panjang dalam sejarah awal Tappalang meninggalkan jejak berupa satuan-satuan adat yang dipimpin oleh Maradika, yakni; Maradika Kaju Anging,Bulo Malala,Somba Opu,Udung Bassi,Pacirong. Maradika Udung Bassi adalah saudara yang paling tua di antara mereka.

Ketokohan Tambuli Bassi yang di akhir hayatnya kembali ke Tabulahan untuk menerima sebuah penyematan penghargaan adat dari tanah leluhurnya itu menyebar ke berbagai wilayah adat lainnya.Sebuah kewajaran dalam kajian antropologi bahwa kekuatan seorang tokoh selalu sanggup disandingkan dengan ketenaran suatu komunitas.Begitulah yang terjadi pada diri seorang Tambuli Bassi.Saudara-saudaranya sesama keturunan Pongkapadang[2] mengenal dan mengidentikkan Tambuli Bassi dengan Tappalang.Tappalang adalah karya besar seorang Tambuli Bassi yang mewariskan satuan-satuan adat tersebut di atas.

Wilayah Tappalang yang ditinggalkan Tambuli Bassi hingga menjelang perundingan di Tammajarra’ masih terdiri atas satuan-satuan adat yang mandiri di bawah kekuasaan maradika.Otonomi dan kesetaraan kedudukan para maradika tersebutlah yang menyebabkan mereka sulit menyepakati pimpinan adat bersama untuk satu Tappalang. Nama besar Tappalang yang berimpit dengan kebesaran Tambuli Bassi nampaknya menuntut semacam perlunya mengangkat maradika yang akan memimpin wilayah tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa atas saran pemerintah Hindia Belanda agar Tappalang menunjuk seorang raja  diadakanlah rembug adat. Tatkala rembug para pimpinan adat memutuskan untuk menyerahkan kekuasaan itu kepada Maradika Udung Bassi sebagai kakak tertua. Namun demikian, apa yang dilakukan oleh Maradika Udung Bassi adalah mengambil inisiatif sendiri mencari raja dari wilayah lain. Justru atas inisiatif sendiri, beliau mengangkat dan mendudukkan seseorang yang berasal dari Sendana untuk menduduki jabatan tersebut.Bangsawan Sendana yang adalah sepupu beliau juga itulah yang pada akhirnya dinobatkan sebagai kepala kerajaan dengan sebutan mara’dia; Mara’dia Tappalang.

Konsekuensinya adalah menurunnya satu jenjang jabatan maradika menjadi punggaha di tiap satuan adat mandiri yang ada sebelumnya itu. Mereka mengangkat atau menyetujui Mara’dia yang bergelar Tomappelei Asugianna (1850-1860), berturut-turut digantikan oleh Na’e Sukur (1860-1867), Pua’ Caco Tomanggang Gallang Patta Ri Malunda (1867-1889), Andi Musa Paduwa Limba (1892-1908), Bustari Pattana Lantang (1908-1934), lalu diganti mara’dia terakhir bernama Abdul Hafid Pattana Pantang (1934-1936). Selama hamper satu abad lamanya, tanah Tappalang menjadi satu kerajaan tunggal yang dipimpin oleh raja berbahasa lain, bukan Bahasa Tappalang.

Satuan-satuan adat mandiri yang sebelumnya dipimpin oleh maradika tersebut di atas akhirnya dipimpin oleh punggaha kecuali di beberapa tempat dikuasakan kepada pimpinan adat bernama baligau’ dan pa’bicara. Sebagai catatan saja, bahwa terdapat pula wilayah yang semula masuk dalam kewenangan salah satu satuan adat mandiri di tanah Tappalang diserahkan atau dianugerahkan kepada golongan lain sebagai sebuah penghargaan adat misalnya, wilayah adat Mata Lalang. Wilayah ini bernama Karanamu, sebuah satuan adat mandiri. Kisah tentang penyerahan dan penganugerahan sebagian tanah kepada kelompok adat lain bernama Mata Lalang di Karanamu tersebut akan diuraikan dalam segmen lain. Sesudah diangkatnya mara’dia yang berasal dari wilayah Sendana tersebut, maka praktis wilayah-wilayah adat yang dipimpin oleh punggaha berada dalam wilayah administrasi kolonial Hindia-Belanda yang selanjutnya dimasukkan menjadi bagian dari Afdeling Mandar, Onder Afdeling Mamuju. Sebagai catatan juga bahwa Mata Lalang di Karanamu, Topatindo di Kota tidak berkenan menjadi bagian dari kekuasaan Hindia Belanda sehingga secara administrative dianggap masuk ke dalam wilayah otoritas Punggaha Dayanginna namun kekuasaan adatnya tidak pernah dicabut atau diubah hingga sekarang. Selain itu terdapat pula otoritas adat Tomakaka di Taang (Taan). Pada bagian lain akan diulas mengenai satuan adat ini secara terpisah.

Sejak tahun 1936 tidak pernah lagi terjadi pergantian mara’dia.Dapat diduga karena dalam masa itu telah terjadi pergolakan kemerdekaan dengan berdirinya perserikatan perjuangan terutama dipelopori oleh Syarikat Islam. Perlu diketahui bahwa sesuai sumber terpercaya dari Syarikat Islam bahwa organisasi pergerakan nasional pertama di tanah air ini masuk ke tanah Sulawesi melalui Mandar. Beberapa pimpinan adat dan tokoh p[ergerakan Mandar di Majene, Balanipa, Polewali, Sendana, Tappalang, dang Mamuju telah bersepakat memberi tempat kepada pergerakan Syariukat Islam baik sebelum maupun setelah menjadi partai politik yang menentang Hindia-Belanda. Itu sebabnya dapat diduga bahwa pengaruh kuat penentangan Syarikat Islam terhadap Hindia Belanda di Mandar menyebabkan mulai memudarnya kepatuhan administratif rakyat Mandar kepada pemimpin adat yang didukung oleh Belanda itu.Terbentuknya Kelaskaran Rakyat Indonesia Muda (KRIS-Muda) Mandar di Jawa maupun di Sulawesi melibatkan sangat banyak pemuda Mandar yang mencoba mempersoalkan kekuasaan raja di bawah pemerintahan kolonial tersebut. Raja-raja Mandar pun demikian. Hingga awal kemerdekaan Indonesia, mereka bersepakat menghentikan kekuasaan swapraja dan dialihakn kepada sistem administrasi pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak mula, dan wilayah bekas Afdeling Mandar bergabung ke dalam Provinsi Sulawesi.

Pimpinan baru dalam sistem administrasi pemerintahan beralih ke gubernur di provinsi, bupati di kabupaten, dan camat di kecamatan di susul para kepala desa dan kepala kampung. Wilayah Mandar, praktis tidak lagi terobsesi meningkatkan kekuasaan kerajaan karena sebagian besar para petinggi kerajaan juga terserap menjadi pemangku kekuasaan di era kemerdekaan. Mereka mengisi beberapa pos penting dalam struktur pemerintahan sehingga tidak relevan lagi mempertahankan kekuasaan kerajaan.Adapun sebagai pemangku adat di beberapa tempat masih berlangsung pergantian, itu pun setelah lama mengalami kevakuman dan hanya simbol adat.Dapat dilihat terutama di era kekuasaan Soeharto, kerajaan-kerajaan di Mandar nyaris tidak fungsional kecuali hanya untuk urusan adat saja.Setelah munculnya gagasan untuk memnghimpun raja-raja Nusantara, maka di beberapa tempat mulai merevitalisasi secara terbatas simbol kerajaan, terutama pengangkatan raja yang baru. Bagaimana di Tappalang? Hingga saat ini amat sulit dilakukan lagi.

Menarik untuk mencatat mengapa hal ini sulit dilakukan.Dapat diduga bahwa kekuasaan mandiri tiap-tiap satuan adat yang dipimpin Punggaha amat menentukan sosok mara’dia yang diakui dan dilantik.Sangat kuat alasan bahwa spirit protes dan pembangkangan Maradika Pacirong di awal kisah ini tetap berpengaruh.Spirit itu berupa penolakan atas pemerintahan kerajaan yang dipimpin oleh orang luar berbeda Bahasa dan asal-usul langsung dalam konteks keturunan yang pantas menjadi pemimpin kerajaan (maradika).Artinya, penghapusan swapraja dan berakhirnya sistem adminitrasi kerajaan Hindia Belanda di tanah air, mendorong pudarnya kekuasaan mara’dia dan hal tersebut dibiarkan oleh para punggaha. Kuat dugaan bahwa seandainya mereka memiliki semacam kebutuhan baru untuk mengangkat seorang raja di Tappalang, maka akan dilakukan reorientasi, lalu reaktualisasi dan revitalisasi kekuasaan sebagaimana seharusnya sistem kerajaan berlangsung. Artinya, dirunut kembali sesuai dengan situasi awal tatkala masih berdirinya satuan adat mandiri. Tentu saja akan dimulai dengan upaya meninjau kembali keberadaan kekuasaan raja (mara’dia) yang diajak masuk menggantikan Maradika Udung Bassi kala itu.

Merosotnya pengaruh raja hingga hilang atau vakumnya kekuasaan adat mara’dia Tappalang dari tahun ke tahun menyebabkan perubahan peta politik kerajaan.Terlihat dalam rentetan sejarahnya bahwa secara faktual kini kekuasaan adat kembali ke Punggaha di masing-masing tempat atau pemangku satuan adat mandiri yang sudah ada sebelumnya.Para pemangku adat tersebutlah yang berwenang untuk mengangkat raja baru sebab mereka jugalah yang dahulu berhak menolak kekuasaan seorang raja.

Penyebab meredup bahkan hilang atau vakumnya Kerajaan Tappalang tersebut dapat dilihat dari berbagai segi sebagaimana juga yang terjadi pada kerajaan lainnya, yakni; Pertama, Munculnya sistem baru dalam politik kekuasaan dan pemerintahan.Definisi kekuasaan serta-merta berubah.Munculnya sistem negara bangsa (nation-state) yang menganut demokrasi memiliki basis ketatanegaraan yang bertumpu pada konstitusi atau hukum tertulis tampil menggantikan sistem kerajaan (monarki). Demikian penatakelolaan pemerintahan berpusat pada suatu sistem administrasi sehingga pemangku kekuasaan yang tidak sanggup melakukan proses tata kelola administratif modern akan tertinggal. Sistem kekuasaan yang terpusat di dalam sabda para raja berubah seketika.Kini kekuasaan sudah terbagi.Tidak semua kekuasaan ada pada satu tangan. Kekuasaan untuk membuat undang-undang yang akan mengikat sistem penyelenggaraan dan penyelenggara negara berada di tangan legislatif. Raja sekadar berfungsi sebagai eksekutif.Kelembagaan peradilan pun berada pada sebuah otoritas yang terpisah.

Kedua, Lambatnya penyerapan ilmu pengetahuan dan alih teknologi dalam kemajuan peradaban baru.Rendahnya kemampuan kontekstualisasi atas perubahan di gerbang era modern saat itu, menyebabkan rendahnya kemampuan bersaing.Demikian juga derasnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern tersebut telah menggantikan ukuran-ukuran kemajuan sosial secara cepat di seluruh negara di dunia. Perkembangan teknologi benar-benar dapat mengakhiri suatu sistem kekuasaan jika sistem tersebut tidak berada di dalam proses perubahan tersebut.

Masa Depan
Keunggulan sebuah bangsa dan peradabannya di tentukan oleh kemampuannya menyikapi perubahan sosial. Penyikapan tersebut amat dipengaruhi oleh cara para tokoh dan anggota masyarakatnya melakukan pembacaan perubahan sosial yang sedang dan akan terjadi. Pembacaan terhadap perubahan sosial sangat tergantung pada definisi keunggulan yang dimaknainya.

Dapat dilihat di dalam sejarah perkembangan peradaban manusia, setiap waktu mengalami berbagai perubahan.Setiap perubahan tersebut berlangsung secara cepat dan melahirkan penyikapan beragam. Pihak yang dapat mengantisipasi perubahan akan bertahan dan dapat mewariskan secara sempurna nilai-nilai leluhurnya kepada generasi mudanya. Contoh yang paling nyata adalah runtuhnya dominasi monarki di seluruh Eropa diikuti dengan munculnya penjajahan.Penjajahan adalah perwujudan dari ideologi baru liberalisme-kapitalisme dari feodalisme.

Dalam konteks perubahan tersebut masyarakat di bekas-bekas kerajaan seyogianya melihat kecenderungan bergeraknya peradaban manusia. Faktor-faktor kemajuan setiap kaum seharusnya menjadi catatan untuk digunakan sebagai pertimbangan dalam proses penentuan arah kemasyarakatannya yang baru. Kerajaan hanyalah salah satu bentuk sistem kekuasaan dan pemerintahan.Tatkala sistem kerajaan berganti filosofi kekuasaan dari feodalisme-aristokrasi menjadi liberalisme-demokrasi, maka eksistensinya hanya dapat bertahan dengan menerima sebagian dari sistem liberal-demokratis itu. Sejumlah monarki yang semula absolut berubah menjadi monarki konstitusional, misalnya Britania Raya atau Inggris,Belanda, Denmark, Yordania, Malaysia, dan lain-lain, mengakui raja sebagai kepala negara namun memiliki parlemen atau memilih perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Hanya ada sedikit negara di dunia yang masih mempertahankan sistem monarki absolut, antara lain; Arab Saudi, Oman, Qatar, Swaziland, Vatikan, dan Brunei Darussalam. Namun beberapa tahun terakhir ini, negara seperti Arab Saudi pun sudah mulai berpikir untuk memiliki parlemen.

Saat ini fakta perubahan dapat disaksikan secara kasat mata.Rhenald Kasali (2017) bahkan menguatkan Christensen (1997) bahwa saat ini memang telah terjadi Disruption.Mungkin berbeda dengan The Great Disrupsion yang disampaikan oleh Francis Fukuyama (2002), pernyataan Kasali lahir dari penelusuran tentang perubahan di berbagai sektor.Cepatnya perubahan metode pemasaran, sektor jasa yang memiliki pola baru, hingga teknologi keomunikasi dan informasi sebagai basis kekuatan generasi baru.

Penjelasan-penjelasan tersebut memberi isyarat bahwa membincang kehadiran kerajaan di era ini amatlah perlu mempertimbangan tujuan, arah, dan model baru terutama untuk memilih atau mengangkat raja.Raja dalam era ini adalah raja yang berani meletakkan model-model penghormatan adat yang menyimbolkan kekuasaan tanpa batas.Raja baru hendaknya memiliki visi pewujudan kesejahteraan rakyat sebagai basis kebijakannya.Prinsipnya bahwa setiap kehadiran adat tidak selalu hanya dimaknai sebagai pelaksanaan warisan simbol-simbol adat belaka melainkan upaya untuk mereaktualisasi ajaran dan nilai luhur yang terkandung di dalam setiap simbol adat.

Andaikata ada gagasan untuk kembali menghidupkan kerajaan Tappalang, ada beberapa pilihan yang mungkin bermanfaat untuk dipertimbangkan; Pertama, Menguatkan kelembagaan adat untuk menjalankan fungsi-fungsi budaya dan pendidikan masyarakat. Ketahanan Budaya amat diperlukan pada masa depan. Namun, kontekstualisasi nilai budaya justru harus lebih penting dipikirkan terlebih dahulu. Menghidupkan kembali budaya dengan cara menjalankan fungsi-fungsi budaya artinya menghidupkan kembali spirit budaya tersebut. Pilihan ekspresi budaya berupa tetarian, pakaian adat, bangunan budaya, dan berbagai tata cara dan ketentuan pada berbagai kegiatan adat yang telah hidup dalam tradisi Tappalang mungkin masih bagus saja dipertahankan, namun bukan itu yang dimaksud melestarikan budaya. Pelestarian budaya untuk keperluan bersaing di masa depan adalah menghidupkan spirit budaya dalam tradisi baru demi menjawab tantangan baru.

Pendidikan budaya seharusnya dimaknai sebagai pewarisan kekuatan spirit bernilai tinggi dan abadi (perennial).Kejujuran, cinta keadilan, solidaritas dan kepedulian, keberanian, tanggung jawab, kesabaran, pengorbanan, kerja keras, dan semacamnya adalah nilai-nilai yang harus diserap dalam pengembangan sosial baru di bawah binaan kerajaan.

Kerajaan dan adat memiliki keunggulan berupa lekatnya aspek metafisik dan supranatural dalam setiap ajaran budaya.Perilaku warga diikat dengan nilai-nilai tersebut melalui sebuah kepatuhan tanpa syarat.Hukuman atas pelanggaran nilai mungkin tidak lagi dapat diterapkan sepenuhnya sebab telah terlalu jauhnya rentang yang dilalui oleh kevakuman adat.Hanya ada beberapa hal yang mungkin masih dapat diberlakukan, seperti, pernikahan.

Oleh sebab itu, kelembagaan adat dapat dan perlu direvitalisasi terutama pembentukan kembali perangkat struktural dengan segala kewenangan budaya yang disesuaikan dengan sistem pemerintahan resmi negara.Artinya, fungsi-fungsi budaya yang dapat menghidupkan kemampuan bersaing masyarakat Tappalang menghadapi kemajuan dunia perlu diperankan kembali oleh kerajaan.Budaya yang hidup dalam tradisi masyarakat sebagai sebuah komunitas adat harus dapat menjadi landasan yang baik bagi pengembangan kemampuan di berbagai sektor.Budaya yang kuat dapat digunakan oleh pemerintah untuk menguatkan sistem politik, ekonomi, hukum, pendidikan, pariwisata, dan sebagainya.

Kedua, Mengangkat kembali Raja atau Mara’dia Tappalang yang dapat berfungsi menjalin kemitraan masyarakat dengan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan.Bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan semangat zaman demokrasi jika ada kehendak masyarakat adat Tappalang mengangkat seorang raja di wilayah ini.

Mara’dia atau maradika mungkin akan lebih fungsional untuk tampil sebagai pemimpin kultural yang dapat menghidupkan kearifan lokal masyarakat Tappalang. Sangat mungkin proses kontekstualisasi kearifan lokal akan mengalami hambatan tanpa kehadiran seorang pemimpin adat. Pada sudut pandang inilah dibutuhkan kehadiran seorang raja atau maradika.

Pengangkatan maradika di Tappalang dapat dilakukan dengan pendekatan antropologis paling genuine dalam adat Tappalang.Konsensus antar para punggaha (yang semula adalah pemimpin adat di satuan kerajaan mandiri bernama maradika) merupakan prosedur yang paling dapat dipertanggungjawabkan dalam antropologi kekuasaan adat di Tappalang.

Bagaimana dengan keturunan Mara’dia Tappalang?Seperti diketahui bahwa sejak tahun 1936 tidak pernah lagi diadakan pelantikan mara’dia baru.Apakah secara otomatis keturunan mereka dapat diangkat dan dilantik menjadi mara’dia?Semua kembali kepada kepada keputusan para punggaha; pemilik kedaulatan untuk mengangkat raja.Para punggaha dapat mencabut kekuasaan raja dan juga mengangkat raja yang baru.Saat ini yang dibutuhkan adalah rembug adat para punggaha atau yang setara dengannya untuk menentukan sikap tentang pengangkatan raja yang baru. Semua kemungkinan masih bisa terjadi, yakni mengikuti sambungan genealogi raja terakhir 1936 yang lalu atau mengambil ketentuan yang paling asli dari tradisi kekuasaan di Tappalang pada awal diangkatnya Maradika Udung Bassi untuk pertama kalinya.

Ketiga, Hanya menjalankan prinsip-prinsip dan spirit ajaran budaya di bawah kelembagaan pemerintahan yang sudah ada.Raja yang diangkat berkomitmen untuk memajukan kebudayaan masyarakat dalam kerangka dan format-format yang tidak bertentangan dengan sistem pemerintahan NKRI.Ini berarti bahwa otoritas otonom dalam bidang pengembangan spirit budaya yang pernah atau masih hidup di wilayah adat Tappalang dapat dikembangkan lebih maju lagi.

Penutup
Beberapa hal yang dapat dicatat dari uraian tentang eksistensi Kerajaan Tappalang serta masa depan peran kebudayaannya adalah sebagai berikut:
   1.    Kerajaan Tappalang adalah hasil dari konsensus beberapa satuan adat mandiri atau kerajaan kecil di wilayah ini.
    2.    Kerajaan Tappalang ditopang oleh konfederasi kekuasaan adat yang dipimpin oleh para maradika yang menurunkan setingkat kedudukan mereka demi memberikan kedaulatan pemerintahan kepada seorang raja (mara’dia) baru.
    3.    Kekuatan para punggaha dan pimpinan adat yang dianggap setara dengannya dalam konteks penentuan kebijakan adat di Tappalang, terutama pemberhentian dan pengangkatan raja, merupakan kunci bagi eksistensi Kerajaan Tappalang di masa mendatang.
   4.    Kehendak masyarakat Tappalang dapat ditindaklanjuti oleh para punggaha untuk selanjutnya menentukan sistem kekuasaan baru serta mengangkat raja yang dianggap kompatibel dengan tuntutan baru terutama untuk menjawab kebutuhan masyarakat di wilayah ini pada masa depan.
    5.    Jika raja diangkat hendaknya dapat memerankan fungsi pemimpin masyarakat adat untuk menjaga kelestarian spirit budaya dan mengantar masyarakat untuk menempati pijakan yang kokoh dalam persaingan di ruang yang lebih luas pada masa mendatang.
    6.    Diperlukan tempat penyimpanan bukti-bukti kerajaan dan catatan serta benda-benda arkeologis milik masyarakat Tappalang untuk keperluan penelitian dan pariwisata. Tempat tersebut adalah museum kebudayaan yang berada dalam otoritas raja atau maradika dan perangkat adat yang ada.
    7.    Diperlukan sebuah tempat raja berkedudukan untuk menjalankan fungsi kerajaan sebagai garda penjaga spirit budaya Tappalang bersama dengan perangkat adat yang ada di wilayahnya.
  8.    Segala artefak kebudayaan dan kerajaan di wilayah Tappalang perlu mendapat perlindungan berupa cagar budaya.




[1]Anggota konfederasi itu berjumlah 14 kerajaan yang terdiri atas 7 kerajaan di wilayah hulu yakni; Tabulahan (Indo’ Lita’), Rantebulahan (To Ma’dua  Takin, To Ma’tallu Sulekka), Mambi (Indo Lantang Kada Nene), Aralle (Indona Kada Nene), Matangga (Andiri Tatteppo’na Ulunna Salu), Tabang (Baka Disura’, Gandang Diroma), dan Bambang (Su’buan Ada’); dan 7 kerajaan di hilir yakni; Balanipa, Sendana, Banggae, Tappalang, Mamuju, dan Binuang. Selain itu dikenal pula Karua Tiparitti’na Uhai (delapan tetesan air) yang dapat diartikan sebagai delapan cabang penyangga Pitu Ulunna Salu, yakni; Mamasa (Digelari Rambu Saratu),   Osango (Digelari Tokerang), Malaqboq (Digelari Tandu kaluaq Talasan Maroso),  Messawa (Digelari  Talingarara’na Ulusalu),  Lakkese (Digelari Kulambu suraq),  Tuqbi (Digelari Karihatana Ulusalu), Taramanu (Digelari Tutuq baqbana Ulu salu), dan Ulumandaq (Digelari Sulluran bassinna ulusalu).

[2]Legenda nenek moyang orang Mandar antara lain menyebut seorang tokoh sentral bernama Pongkapadang. Tidak jelas urutannya, namun jika dihubungkan dengan tempat berdiamnya nenek Pongkapadang maka dapat diduga ada hubungan dengan legenda Sawerigading dalam epos Lagaligo yang terkenal di daratan Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar.Tentu ini adalah kisah peradaban manusia modern yang menjelaskan tentang rumpun orang Melayu.Struktur bahasa orang Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar tidak ada bedanya dengan struktur Bahasa Melayu.Selain itu, diyakini bahwa orang yang berdiam di pulau-pulau Nusantara adalah bangsa Melayu.Manusia modern baru masuk ke tanah air pada Era Pleistosen.Manusia pendatang ini terbagi menjadi dua golongan, yaitu Melanesia dan Austronesia.Orang Melanesia datang sejak 50.000 tahun lalu.Melanesia mayoritas berasal dari Afrika dan biasanya bermata biru.Migrasi kedua sekitar 16.000-35.000 tahun lalu dari Indocina masuk ke Nusantara lewat jalur darat.Setelah itu disusul orang Austronesia sekitar 4.000 tahun lalu dari Formosa ke bagian barat dan timur Nusantara.Mereka inilah yang berkembang di Nusantara hingga saat ini.

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "Kerajaan Tappalang; Genealogi dan Masa Depannya"

Post a Comment