Kerajaan Tapalang

KERAJAAN TAPALANG

Oleh: Dana Azabach
(Pecinta dan Penikmat Sejarah dan Budaya Tapalang)


Membahas kerajaan Tapalang (Tappalang) dianggap cukup sulit mengingat referensi yang ada baik tulisan maupun peninggalan fisik dinilai masih sangat kurang. Sebutan kerajaan Tappalang atau Maradika (Raja) Tapalang lebih banyak diketahui dari hubungannya dengan kerajaan lain, seperti perjanjian-perjanjian antara kerajaan yang didalamnya tergabung kerajaan Tappalang. Kurangnya sumber-sumber tersebut menyebabkan penulisan sejarah kerajaan tapalang umumnya diperoleh dari tradisi lisan yang disampaikan secara turun temurun. Tentunya informasi lewat tradisi lisan sedikit banyak akan memberikan perbedaan atara pencerita satu dengan yang lain. Maka ditulislah bagaimana sejarah kerajaan tappalang dari salah satu sumber sumber tokoh yang masih merupakan keturunan dari pendiri Kerajaan Tapalang.
  
Sejarah Tapalang dimulai ketika Tambulu/Tambuli Bassi keturunan Pongka Padang berangkat dari Tabulahang (sekarang masuk dalam wilayah Kab. Mamasa) turun ke daerah pesisir melalu Tanete Tambottu (gunung yang tidak terputus). Tambulu Bassi tiba di daerah yang sekarang disebut sebag ai Desa Tamao dan menancapkan tongkatnya dari bambu ke tanah dan berkata “ini lah batas perjalanan kita” dalam bahasa tapalang “indeemi tappa’ lalangta”. Konon katanya tongkat bambu (parring bulahang) itu tumbuh dan berkembang (bambu tersebut hilang/rusak saat pelebaran jalan di Desa Tamao). Tambulu Bassi menyatukan penduduk lokal yang memang sudah ada sebelum kedatangannya menjadi satu ke-Maradikaan (kerajaan) Tapalang.

Tambulu Bassi memiliki beberapa keturunan (ada yang menyebut cucu bahkan anak langsung), yang diketahui diantaranya Dg. Mattiri, Toahi, Dg. Pacirong, Ta bunga-bunga dan Tasiopanna (versi lain 7 bersaudara). Gelar maradika diberikan ke anak pertama yakni Dg. Mattiri (Gelarnya Maradika Udung Bassi), penyerahan ini mendapat penentangan dari Dg. Pacirong adik dari Maradika Udung Bassi yang juga menginginkan posisi tersebut. Hal ini membuat situasi Tapalang menjadi gaduh, tidak ada ketenangan di dalamnya akibat ulah dari Dg. Pacirong. Anak-anak dari Tambulu Bassi yang dipimpin oleh Maradika Udung Bassi mengadakan musyawara untuk menyelesaikan masalah tersebut. Berkatalah Dg. Mattiri ‘apa yang akan kita lakukan’, berkata salah satu saudaranya ‘bagaimana kalau Maradika mundur saja’, saudara lain berkata ‘tidak bisa kalau maradika mundur karena itu sudah diamanahkan oleh orang tua kita Maradia Tambulu Bassi’. Kemudian Maradika Udung Bassi berkata ‘ begini saja bagaimana kalau kita ke Sendana (versi lain Balanipa) memanggil sepupu (namanya belum diketahui) kita untuk jadi Maradika di Tapalang jika memang itu yang akan membuat aman daerah kita’. Semua saudara Maradika Udung Bassi kecuali Dg. Pacirong dan Toahi (yang kemudian kembali ke Tabulahang sebagai tanda ketidaksetujuannya dipimpin maradika dari luar).

Setelah bersepakat, berangkatlah ke Sendana untuk menjemput sepupu Maradika udung Bassi. Sesampainya di Malunda, sepupu maradika tersebut tidak akan ke Tapalang jika saudaranya yang lain dalam hal ini Dg. Pacirong tidak mau tunduk. Bersepakatlah saudara-saudara Maradika untuk menyikirkan Dg. Pacirong dengan cara membunuhnya (konon kepala Dg. Pacirong yang sudah dipenggal tersebut diletakkan di baki dan tiap kali kepala Dg. Pacirong diperhadapkan ke Sepupu Maradika kepala tersebut berputar sebagai tanda ketidakmaunnya tunduk ke pada orang Mandar dalam hal ini sepupu Maradika. Setelah Tapalang aman, sepupu Maradika Udung Bassi dilantik oleh Maradika Udung Bassi menjadi Maradika Tapalang. Maradika Udung Bassi turun satu tingkat menjadi Pa’bicara. Turunnya satu tingkat Maradika Udung Bassi menjadi Pa’bicara tidaklah bersifat tetap, Pa’bicara akan kembali jadi Maradika, jika Maradika yang diangkat sudah wafat atau diberhentikan (ada kasus Maradika yang diangkat cuma menjabat dua tahun, kemudian diberhentikan dan diusir disebabkan kondisi paceklik di Tapalang). Itulah mengapa gelar Pa’bicara disamakan juga dengan Maradika Matua/Matoa.

Jika mengikuti garis keturunan dari Tambulu/Tambuli Bassi maka, Maradika Matoa/Pa’bicara Tapalang bisa dilihat sebagai berikut:
     1.      Tambulu Bassi (Maradika Pertama)
     2.      Dg. Mattiri (Maradika Udung Bassi/Pa’bicara keturunan Tambulu Bassi )
     3.      Dg. Mattiwi (Anak Dg. Mattiri)
     4.      Dg. Ma’bongka (Pue Cummi anak Dg. Mattiri)
     5.      Dg. Mattolo (Pue Cambang Cucu Dg. Ma’bongka)
     6.      Pue Nai’ (Pa’bicara Sumbing anak Dg. Mattolo)
     7.      Pua’ Sambu (Pa’bicara Buttu Eke, kemanakan sekaligus menantu dari Pue Nai’)

Belanda masuk ke Tapalang di jaman Pa’bicara Pue Nai’, dia jugalah yang menemui Belanda yang masuk melalui Desa Pasa’bu. Kepandaian berdiplomasi Pue Nai’ menghindarkan kehancuran Tapalang dari Belanda yang berencana menyerang Tapalang. Di zaman Pa’bicara Pue Nai’ ini juga disebutkan sebagai zaman terbaik jika dibanding zaman ke Pa’bicaraan setelahnya. Setelah Indonesia merdeka kemudian munculnya pemberontakan DI/TI yang menerapkan aturan islam yang sangat ketat salah satunya melarang kegiatan-kegiatan adat masyarakat Tapalang.  Pemindahan Jabatan adat seperti Pa’bicara dan pelantikan Maradika di Tapalang menjadi tersendat dan tenggelam. Pemindahan jabatan adat hanya dilakukan secara sederhana tanpa upacara adat. Harta warisan benda pusaka Pa’bicara juga banyak yang hilang karena seringnya benda pusaka tersebut berpindah tangan diantara keturunan Pa’bicara Tapalang. Keturunan dari jalur Pa’bicara kebanyakan tersebar di Desa Tapalang, Desa Tamao,  Galung Utara dan Kelurahan Kasambang. Benda Pusaka yang tersisa sekarang hanya berupa songkok Pa’bicara dan beberapa bilah badik.

Setelah masa  Pua’ Sambu ke Pa’bicaraan di pegang oleh beberapa keturunan Pa’bicara Tapalang diantaranya:
     1.      Abdul Halim
     2.      Kuraiseng
     3.      Muh. Sunusi (sampai sekarang)
  

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Kerajaan Tapalang"